Lompat ke isi

Japan Post Bank

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Japan Post Bank Co., Ltd.
Anak perusahaan
Kode emitenTYO: 7182
IndustriPerbankan
Didirikan1 September 2006
Kantor pusat,
Tokoh kunci
Norito Ikeda (Presiden dan Direktur Eksekutif Representatif), Susumu Tanaka (Wakil Presiden Eksekutif Representatif)[1]
Pendapatan¥1,85 triliun (2019)[2]
¥266 milyar (2019)[2]
Total aset¥205 triliun (2019)[2]
Karyawan
12.800 (2019)[2]
IndukJapan Post Holdings (88,99%)
Situs webwww.jp-bank.japanpost.jp
X: jpbank_official Instagram: yucho_pay Modifica els identificadors a Wikidata

Japan Post Bank Co., Ltd. (株式会社ゆうちょ銀行, Kabushiki-gaisha Yū-cho Ginkō, biasa disingkat menjadi ゆうちょ銀行 (Yū-cho Ginkō)), adalah sebuah bank yang berkantor pusat di Tokyo, Jepang Perusahaan ini dimiliki oleh Japan Post Holdings, yang mayoritas sahamnya dipegang oleh pemerintah Jepang.

Bank ini memulai sejarahnya pada tahun 1875 sebagai sebuah sistem tabungan pos, dan saat ini masih beroperasi terutama melalui kantor pos. Bank ini mengelola aset lebih dari ¥205 triliun dan menawarkan layanannya melalui hampir 24.000 cabang di seantero Jepang.[2] Pada suatu waktu, bank ini pun pernah menjadi lembaga keuangan terbesar di dunia.[3] Sejak didirikan, bank ini memainkan peran penting dalam menyediakan jasa keuangan untuk masyarakat Jepang dan berinvestasi untuk mengembangkan ekonomi dan industri Jepang.[3]

Selama sebagian besar sejarahnya, bank ini dimiliki oleh pemerintah Jepang dan merupakan bagian dari sistem pos. Pada tahun 2007, sebuah undang-undang diterbitkan untuk mulai memprivatisasi bank ini dan membentuk perusahaan tersendiri untuk menangani Japan Post.[4] Penjualan saham bank ini yang dipegang oleh pemerintah Jepang pun masih berlangsung hingga saat ini.[5]

Sistem tabungan pos di Jepang dimulai pada tahun 1875 oleh Maejima Hisoka, yang dikenal sebagai "bapak sistem pos Jepang."[6][7] Empat tahun sebelum ia mendirikan sistem pos di Jepang pada tahun 1871, Maeijima mengamati sistem pos di Britania Raya dan terkesan dengan layanan tabungan pos yang ditawarkan di sana, karena hanya dalam waktu tiga tahun, layanan tabungan pos di sana telah memiliki 10.000 nasabah.[7]

Pasca Perang Dunia II, pada tahun 1949, sistem tabungan pos kembali diluncurkan di bawah Kementerian Pos dan Telekomunikasi yang baru dibentuk. Seiring dengan makin membaiknya ekonomi, tabungan pos pun tumbuh, sehingga asetnya mencapai ¥1 triliun pada tahun 1960 dan ¥100 triliun pada tahun 1985.[7] Pada tahun 2001, sistem tabungan pos diletakkan di bawah Badan Layanan Pos, yang kemudian direorganisasi menjadi Japan Post pada tahun 2003.

Pasca reorganisasi tersebut, layanan tabungan pos dikelola oleh sebuah badan usaha milik negara yang juga mengelola divisi pos dan asuransi. Pada tahun 2006, Japan Post Holdings didirikan sebagai sebuah perusahaan induk milik negara untuk menyiapkan pemisahan divisi-divisinya menjadi sejumlah perusahaan terpisah yang sebagian sahamnya dipegang oleh swasta. Pemisahan tersebut akhirnya selesai pada tanggal 1 Oktober 2007.[7] Pada tanggal 3 November 2015, saham Japan Post Bank mulai diperdagangkan di Tokyo Stock Exchange.[8]

Sistem perbankan pos di Jepang menjadi penting, tidak hanya karena menyediakan layanan tabungan dan jasa keuangan untuk masyarakat Jepang, namun juga karena mengembangkan ekonomi Jepang dengan menggunakan dana yang ditabung oleh masyarakat.

Pendirian hingga Perang Dunia II

[sunting | sunting sumber]

Tabungan pos awalnya disimpan di First National Bank (第一銀行, Dai-Ichi Ginkou), sebuah bank swasta yang juga menerbitkan uang, namun mulai tahun 1878, tabungan pos juga disimpan di Kementerian Keuangan, yang kemudian menjadi satu-satunya tempat penyimpan tabungan pos mulai tahun 1884.[9][10]

Selama Restorasi Meiji, pemerintah Jepang fokus mendorong modernisasi ekonomi dan militer, serta menghindari utang luar negeri agar tetap dapat independen selama masa kolonialisme Barat.[6] Hal yang paling dikhawatirkan adalah utang luar negeri, karena pengamat di Jepang melihat bahwa utang di negara seperti Cina dan Mesir, menyebabkan negara tersebut cenderung tunduk kepada krediturnya.[10][11]

Namun, transformasi tersebut membutuhkan banyak dana untuk mendanai pengembangan perkeretaapian, sistem komunikasi, dan industri, padahal saat itu tidak banyak masyarakat Jepang yang menabung, karena tidak banyak juga yang menganggap bahwa uang perlu ditabung dan diinvestasikan.[6][10] Perbankan pos kemudian menjadi sangat sukses, dan pada tahun 1985, perbankan pos telah memiliki 1,25 juta deposan, yang dapat melakukan transaksi keuangan di sekitar 4.500 kantor pos.[6]

Pada awalnya, tabungan pos hanya dipinjamkan ke pemerintah melalui pembelian obligasi pemerintah.[9] Pada dekade 1890-an, pemerintah mulai membentuk sejumlah bank yang dapat menawarkan pinjaman industrial dengan menggunakan tabungan yang disimpan di bank tersebut.[6][9] Namun, pinjaman bank tersebut baru menjadi signifikan pada tahun 1912, dan baru pada dekade 1930-an, pinjaman bank tersebut menjadi penting pada periode pasca perang untuk dipinjamkan guna mendukung pengembangan ekonomi.[9]

Menjelang dan selama Perang Dunia II, tabungan pos diinvestasikan pada obligasi pemerintah dan perusahaan yang terlibat dalam upaya perang.[6][10] Mulai tahun 1942 hingga 1945, tabungan pos tumbuh empat kali lipat.[9]

Pasca perang

[sunting | sunting sumber]

Sistem perbankan Jepang hancur saat perang berakhir. Suku bunga tabungan pun menjadi negatif, karena deposan menarik uangnya yang kehilangan nilai akibat inflasi selama perang. Riwayat transaksi dari 52 juta rekening juga hancur akibat perang. Investasi sebesar ¥6 milyar dari sistem tabungan pos di teritori kolonial Jepang juga lenyap, karena pemerintah kesulitan untuk mengendalikan ekonomi domestik.[3]

Untuk mempromosikan tabungan yang dapat digunakan untuk membangun kembali ekonomi, pejabat Jepang pun membuat banyak pernyataan untuk mendorong masyarakat menghemat pengeluaran dan melakukan sejumlah upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Jepang pada sistem keuangan.[9][3] Mulai dekade 1950-an, tabungan pos tumbuh stabil dan pangsa pasarnya hampir sama dengan bank swasta, berkat banyaknya kantor pos, produk yang menarik, dan perlakuan pajak yang berbeda.[10][3]

Selama pendudukan Sekutu atas Jepang, tabungan pos hanya boleh diinvestasikan pada obligasi pemerintah, sementara lembaga keuangan swasta terutama bertanggung jawab untuk menyediakan pinjaman bagi masyarakat. Setelah adanya revisi pendanaan publik pada tahun 1951, karena adanya kebutuhan untuk mendanai pembangunan kembali ekonomi dan Perang Korea, tabungan pos kembali hanya dapat disimpan di Kementerian Keuangan dan diinvestasikan ke industri melalui Fiscal Investment and Loan Program (FILP).[6][10] Perusahaan keuangan lalu didirikan oleh pemerintah untuk memberi pinjaman kepada pemerintah dan industri, sehingga berkontribusi pada pengembangan industri dan pertumbuhan ekonomi.[6] Mulai tahun 1953, tabungan pos yang didistribusikan melalui FILP mencapai sepertiga hingga separuh dari anggaran negara.[3] Pada tahun 2001, di tengah kontroversi mengenai privatisasi Japan Post Bank dan pengaruh politik mengenai penggunaan dana FILP, sebuah reformasi dilakukan, sehingga mengakhiri hubungan resmi antara FILP dan Japan Post Bank, namun pada prakteknya, dana Japan Post Bank tetap disalurkan melalui FILP.[12]

Privatisasi

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2005, sebuah undang-undang untuk memprivatisasi sistem pos Jepang diterbitkan, yang meliputi privatisasi layanan perbankan pos Jepang sebagai sebuah perusahaan terpisah dengan struktur kepemilikan yang sama dengan layanan pos yang lain. Proses privatisasi tersebut pun dimulai pada tahun 2007.[4] Undang-undang tersebut bertujuan untuk menjadikan Japan Post Bank sebagai sebuah entitas yang independen, dengan pemerintah menjual saham Japan Post Bank yang mereka pegang pada tahun 2017. Walaupun begitu, Japan Post Bank tetap beroperasi melalui kantor pos dari Japan Post Service, yang juga dibentuk berdasarkan undang-undang yang sama.[13]

Rencana privatisasi tidak berjalan mulus. Pada tahun 2009, sebagai respon terhadap krisis finansial, privatisasi dihentikan dan tabungan pos didorong untuk mendanai pengeluaran stimulus.[4] Pada tahun 2011, pasca gempa bumi besar di Jepang bagian timur, saham Japan Post Bank kembali diperbolehkan untuk dijual guna membantu mendanai pembangunan kembali.[4][14] Pada tahun 2015, untuk pertama kalinya, saham Japan Post Bank diperdagangkan di Tokyo Stock Exchange.[8]

Proses privatisasi pun masih berlangsung hingga saat ini. Pada akhir tahun 2019, pemerintah masih memegang 57% saham Japan Post Holdings,[5] yang memegang 90% saham Japan Post Bank.[2][a]

Tampak luar dari sebuah bangunan di kawasan urban dengan papan nama Japan Post Bank.
Tampak luar dari sebuah cabang Japan Post Bank di Akita, Jepang.

Pada tahun 2019, Japan Post Bank mengelola aset sebesar ¥205 triliun, serta menangani rekening sebanyak sekitar 120 juta, yang dapat digunakan untuk mengakses layanan bank ini di hampir 24.000 cabangnya di seantero Jepang, yang mana sebagian besar berada di kantor pos milik Japan Post Service.[2] Bank ini menawarkan berbagai macam produk keuangan, mulai dari rekening tabungan, kartu kredit, pinjaman, investasi, deposito, hingga rekening pensiun.[15]

Bank ini juga menyediakan layanannya hingga ke kawasan rural. Di daerah yang populasinya menyusut atau proporsi lansianya tinggi, Japan Post Bank yang beroperasi melalui kantor pos mungkin juga menjadi satu-satunya lembaga keuangan yang ada di daerah tersebut.[13][16]

Bank ini juga mengelola hampir 30.000 ATM di seantero Jepang.[2] Karena sebagian transaksi di Jepang masih dilakukan dalam bentuk kontan, Japan Post Bank pun memainkan peran penting dalam menyediakan ATM bagi masyarakat Jepang, karena bank lain mulai mengurangi jumlah ATM-nya.[17]

Pada bulan Mei 2019, Japan Post Bank meluncurkan Yucho Pay, sebuah layanan pembayaran berbasis smartphone, di mana nasabahnya dapat membayar di toko yang berpartisipasi langsung dengan menggunakan saldo yang ada di dalam tabungan. Yucho Pay awalnya digunakan oleh sekitar 10.000 nasabah, dan juga memungkinkan pembayaran dan tarik tunai dengan memindai kode QR.[2]

Pada bulan Maret 2021, Japan Post Bank mengumumkan bahwa mereka akan berinvestasi sebesar ¥150 milyar ($1,4 milyar) untuk mengakuisisi 8,3% saham Rakuten guna menjalin kemitraan di bisnis logistik, seluler, dan pembayaran.[18]

Kontroversi

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2019, sebuah investigasi internal mengungkap ribuan kejadian di mana produk investasi dijual secara tidak layak, dengan 90% dari 230 cabang yang dikelola langsung oleh Japan Post Bank terlibat. Ditemukan bahwa produk tersebut dijual ke lansia tanpa mengkonfirmasi apakah mereka sepenuhnya paham dengan produk tersebut.[19] Kejadian tersebut pun membuat Badan Jasa Keuangan juga ikut menginvestigasi[19] dan menghentikan penjualan dan pemasaran produk asuransi dan keuangan dari Japan Post Bank.[20]

  1. ^ Untuk informasi kepemilikan Japan Post Holdings terkini, lihat di sini. Untuk informasi kepemilikan Japan Post Bank terkini, lihat di sini.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Executives-JAPAN POST BANK". Japan Post Bank. 2020-07-01. Diakses tanggal 2020-07-29. 
  2. ^ a b c d e f g h i "2019 Annual Report" (PDF). Japan Post Bank. 2019. Diakses tanggal 2020-07-25. 
  3. ^ a b c d e f Garon, Sheldon (2011-12-11). "Postwar Japan's National Salvation". The Asia-Pacific Journal: Japan Focus. 9 (50). Diakses tanggal 2020-07-25. 
  4. ^ a b c d Robinson, Gary (2017-01-02). "Pragmatic financialisation: the role of the Japanese Post Office" (PDF). New Political Economy. 22 (1): 61–75. doi:10.1080/13563467.2016.1195347. ISSN 1356-3467. 
  5. ^ a b "Amakudari and Japan Post Holdings". The Japan Times. 2019-12-24. Diakses tanggal 2020-07-25. 
  6. ^ a b c d e f g h Uno, Akira (2020-07-09). Japan Post Bank: Current Issues and Prospects. Springer Nature. ISBN 9789811514081. 
  7. ^ a b c d "Annual Report 2014" (PDF). Japan Post Bank. 2014. Diakses tanggal 2020-07-25. 
  8. ^ a b Sano, Hideyuki; Uranaka, Taiga (2015-11-03). "Japan Post firms make bumper debut after $12 billion triple IPO". Yahoo Finance. Diakses tanggal 2020-07-25. 
  9. ^ a b c d e f Kuwayama, Patricia Hagan (2000). "Postal Banking in the United States and Japan: A Comparative Analysis" (PDF). Monetary and Economic Studies. 
  10. ^ a b c d e f Calder, Kent E. (1990). "Linking Welfare and the Developmental State: Postal Savings in Japan". Journal of Japanese Studies. 16 (1): 31–59. doi:10.2307/132493. ISSN 0095-6848. JSTOR 132493. 
  11. ^ Scher, Mark J (2001). "Postal Savings and the Provision of Financial Services: Policy Issues and Asian Experiences in the Use of the Postal Infrastructure for Savings Mobilization" (PDF). United Nations. 
  12. ^ Vollmer, Uwe; Dietrich, Diemo; Bebenroth, Ralf (2009). "Behold the 'Behemoth'. The privatization of Japan Post Bank" (PDF). Diakses tanggal 2020-07-23. 
  13. ^ a b Lincoln, Edward J. (2012-05-21). Japan Post Bank: Problematic Issues. Tensions in the Global Financial Regulatory Environment. Center on Japanese Economy and Business. 
  14. ^ Hufbauer, Gary Clyde; Muir, Julia (2012). "Japan Post: Retreat or Advance?" (PDF). Peterson Institute for International Economics. 
  15. ^ "Annual Report 2016" (PDF). Japan Post Bank. 2016. Diakses tanggal 2020-07-27. 
  16. ^ Antsey, Chris (2019-07-11). "Japan's Post Office Is an Unlikely Global Bond Powerhouse - Bloomberg". Bloomberg. Diakses tanggal 2020-07-28. 
  17. ^ Brasor, Philip; Tsubuku, Masako (2018-06-08). "Days are numbered for ATMs in Japan's banking system". The Japan Times. Diakses tanggal 2020-07-26. 
  18. ^ "Rakuten to raise $2.2bn in deal with Japan Post, Tencent and Walmart". Financial Times. 12 March 2021. 
  19. ^ a b "Japan Post Bank broke rules with sales of investment trust products to thousands of seniors". The Japan Times. 2019-09-13. Diakses tanggal 2020-07-27. 
  20. ^ "Japan Post to resume marketing of savings products after suspension due to irregularities". The Japan Times. 2019-11-21. Diakses tanggal 2020-07-27. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]